Warta Metropolitan, Blog Warta Indonesia

5 Hal yang Memicu "Baby Blues"

PestaBaca.info - Kebahagiaan setelah kelahiran anak bisa sirna akibat depresi yang melanda. Gangguan depresi khas yang dialami oleh para ibu baru disebut oleh pakar sebagai postpartum syndrome, yang mungkin lebih sering Anda dengar dengan istilah baby blues.

Baby blues dapat terjadi kapan saja, tetapi umumnya adalah sekitar satu hingga tiga minggu setelah kelahiran anak. Dalam masa ini, Anda mungkin akan menjadi lebih mudah marah atau malah mudah menangis tanpa alasan yang jelas. Nafsu makan mengalami perubahan, sementara Anda juga jadi gampang cemas atau sulit tidur. Sebagian ibu menjadi sangat mudah frustrasi saat berhadapan dengan anaknya, dan cenderung menyalahkan diri sendiri karena tidak dapat menjadi ibu yang baik. Pada kasus lain ada juga ibu yang begitu takut memegang bayinya karena khawatir akan melukai bayi itu atau dirinya sendiri.

Menurut ahli, beberapa faktor psikologis dapat berpengaruh terhadap munculnya baby blues, mulai dari tekanan emosional hingga sisi kepribadian sang ibu baru. Simak beberapa hal yang bisa memicu timbulnya baby blues, dan bagaimana cara mengatasinya:

1. Kehamilan tidak direncanakan
Tidak siap untuk memiliki anak dapat berpengaruh pada kondisi emosional calon ibu pada saat hamil dan juga setelah melahirkan, kata Sara Rosenquist, PhD, psikolog dari Chapel Hill, North Carolina. Menurut penulis After the Stork: The Couple's Guide to Prevention and Overcoming Postpartum Depression ini, Anda perlu mencoba untuk tidak terlalu berfokus pada aspek-aspek negatif dari memiliki anak.

"Pilihannya adalah menganggap anak itu sebagai karunia dalam hidup, atau sebaliknya," kata Rosenquist lagi. Bertukar pikiranlah dengan sesama ibu, agar Anda lebih positif dalam menyambut kelahiran bayi dalam keluarga.

2. Hubungan dengan pasangan sedang bermasalah
Stres akibat masalah dengan pasangan bisa berpengaruh terhadap munculnya baby blues. "Adanya masalah bisa meningkatkan rasa kecewa Anda," papar Rosenquist. "Sementara konflik tak berkesudahan dengan pasangan dapat menimbulkan depresi." Datangnya anggota keluarga baru dapat dianggap sebagai tambahan masalah.

Untuk mengatasi hal ini, sebaiknya sejak awal Anda sudah mulai berkonsultasi dengan penasihat perkawinan. Dengan begitu, energi dan waktu Anda tidak dihabiskan untuk hal-hal yang negatif sehingga lebih siap untuk hal yang lebih besar, yaitu kelahiran anak.

3. Kurangnya dukungan keluarga
Pasangan yang tidak membantu dalam merawat anak bisa membuat Anda putus asa pada masa awal memiliki anak. Begitu juga jika Anda tidak memiliki teman dekat atau anggota keluarga yang dapat membantu merawat bayi. Padahal, adanya dukungan yang besar dari orang-orang sekitar dapat membuat Anda merasa lebih kuat dan percaya diri dalam merawat bayi.

Mulai membangun sistem support sebelum sang bayi lahir, menurut profesor Psikologi Michael O'Hara, PhD, dari University of Iowa, dapat sangat membantu mengatasi masalah ini. Jika tidak ada teman yang tinggal di dekat Anda, cobalah mulai berteman dengan para ibu di daerah sekitar rumah. Atau, andalkan bantuan dari baby sitter.

4. Anda baru mengalami kejadian yang pahit
Perceraian atau kematian dari anggota keluarga dapat menambah risiko Anda untuk mengalami postpartum syndrome. Bahkan, perubahan drastis seperti baru pindah rumah juga dapat memberikan dampak yang serupa, begitu menurut Maria Muzik, MD, dari University of Michigan Health System. Karena itu, sangat disarankan pada ibu hamil untuk menghindari adanya perubahan hidup terlalu besar (yang tentunya disengaja) selama kehamilan dan setelah melahirkan. Jika bisa, tunda rencana pindah rumah hingga Anda merasa lebih stabil.

5. Anda terlalu perfeksionis
Selalu mengharapkan segalanya berjalan sempurna bisa membuat seseorang jadi mudah frustrasi pada saat yang terjadi adalah sebaliknya. Itu sebabnya, menurut Kim Zittel, PhD, MSW, asisten profesor di bidang sosial dari Buffalo State College, New York, Anda perlu sedikit menurunkan standar.

"Para perfeksionis akan menuntut dirinya sendiri menjadi ibu yang sempurna. Ia juga mengharapkan pasangannya akan menjadi ayah teladan, dan anaknya adalah bayi yang manis bagaikan malaikat," tutur Zittel lagi.

Begitu hal ini tidak tercapai, para ibu ini akan mulai menyalahkan diri sendiri dan terjebak dalam depresi. Lebih baik, Anda mencoba untuk bersikap lebih realistis dan belajar untuk menerima segala hal dengan pikiran terbuka.

[kompas.com]

0 Comments:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.