PestaBaca.info - Harimau, binatang yang berangka kuat dengan garis-garis loreng di badannya, sang raja hutan yang ditakuti harus menerima kenyataan pahit , ia dinyatakan sedang mengalami kepunahan. Spesies ini tak kuasa menghadapi predator yang lebih kuat dan beranak pinak dengan pesat yakni manusia, yang memburunya sebagai hiasan, obat kuat, serta merusak lahan habitatnya untuk ladang, intensifikasi kelapa sawit, indutri kayu, dan pemukiman.
Kucing besar ini adalah binatang territorial dan secara harfiah memerlukan lahan untuk dijelajahi. Para konservasionis harimau menyatakan untuk berburu, hidup, dan kawin, seekor harimau yang makan 20 sampai 30 kilogram daging sehari memerlukan sekurangnya 10 kilometer persegi hutan. Harimau muda jantan harus menemukan hutan perburuannya atau melakukan suksesi terhadap pejantan tua yang mampu dikalahkannya. Jika ia tidak mampu melakukan salah satu pilihan di atas, maka ia terpaksa menjelajah keluar hutan tutupan, merambahi ladang dan pemukiman. Hal ini menimbulkan konflik antara harimau dan manusia.
Menurut WWF dewasa hanya terdapat 3200 ekor harimau liar di seluruh dunia. Sebarannya terdapat di 13 negara dan terbagi ke dalam enam sub spesies yakni harimau Sumatra (Panthera Tigris Sumatrae), Belang/Malaya (Panthera Tigris Jacksoni), Bengal ( Panthera tigris bengalensis), Amur/Siberia (Panthera Tigris Altaica), Indochina (Panthera Tigris Corbetti) , China Selatan (Panthera Tigris Amoyensis). Harimau Sumatra yang tersisa tinggal 400 –an ekor atau 12 persen dari populasi harimau dunia.
Bicara tentang angka, jumlah 3200 ekor harimau adalah jumlah yang sangat kecil. Sebagai perbandingan jumlah total penduduk di desa Maguwoharjo, Depok-Sleman, Yogyakarta menurut statistik terakhir adalah 25.152, dan jumlah anak jalanan seantero Jakarta pada tahun 2008 mencapai 12.000 orang.
Hingga awal abad kedua puluh, masih terdapat Sembilan spesies harimau di Bumi. Tiga yang kemudian punah adalah harimau Kaspia , harimau Jawa ( Panthera Tigris Sondaica) dan harimau Bali (Panthera Tigris Balica). Harimau Kaspia yang dulu tersebar di Asia Tengah dinyatakan punah pada 1950. Harimau Jawa dinyatakah punah pada 1980-an. Sedang harimau Bali telah pupus pada 1937.
Orang Jawa secara tradisional sangat menghormati alam termasuk harimau. Harimau dipanggil Kyaine sebagai penghargaan. Akan tetapi karena pengaruh “ kebo bule” (Belanda), maka raja-raja Jawa yang merasa berterimakasih setelah dibantu memadamkan pemberontakan-pemberontakan (Trunojoyo dll) merasa rikuh untuk menolak desakan sementara orang Belanda yang ingin menyaksikan pertunjukan « adu macan ». Lahirlah kemudian « gropyokan macan » untuk menghibur mereka. Harimau di adu dalam kalangan dengan para prajurit bersenjata tombak dalam formasi mengelilinginya. Tentunya sang macan yang jadi korban. Selera orang « kulit putih » ini sudah berakar sejak lama. Dulu pada jaman Romawi Kuno, orang Romawi kerap menyelenggarakan pertarungan dalam arena antara harimau Kaspia diadu dengan gladiator atau binatang liar lainnya. Ketika Jawa sepenuhnya jatuh ke tangan kolonialis, harimau dibunuh secara intensif untuk melindungi kepentingan perkebunan Belanda yang menggerogoti hutan. Tahun 1872 sebuah kepala harimau yang terbunuh di Tegal, Jawa Tengah, dihadiahi 3.000 gulden.
Harimau Bali
Jika tidak punah, harimau Bali yang secara lokal disebut “samong” adalah juga sebuah kekayaan hayati yang tak ternilai harganya. Ia adalah harimau terkecil di dunia, yang terbesar adalah harimau Siberia. Berat harimau Bali jantan antara 90 sampai100 kilogram sedang betinanya antara 65 sampai dengan 80 kilogram. Ukurannya ini setara dengan ukuran seekor leopard atau macan tutul. Ukurannya ini adalah sebuah anomali, umumnya semakin menjauh dari katulistiwa semakin besar pula ukuran seekor harimau. Mungkin evolusi ini disebabkan ukuran pulau Bali yang kecil dan memiliki hewan buruan yang lebih terbatas.
Ia memiliki bulu yang pendek, dengan warna oranye gelap. Lorengnya lebih sedikit dari harimau Jawa dan Sumatra, namun diantara loreng-lorengnya terkadang ada tutul tutul kecil hitam. Kekhasan ini menyebabkan terkadang harimau Bali digambarkan memiliki loreng-loreng yang lebih rapat.
Seperti saudaranya harimau Jawa, kepunahan harimau Bali sebagian disebabkan oleh perburuan yang massif semasa zaman kolonial. Konon cara yang paling poluler untuk memburu harimau Bali adalah dengan menggunakan perangkap kaki begerigi dari besi dengan umpan seekor kambing atau menjangan. Jika telah terperangkap, ia kemudian dieksekusi dengan tembakan senjata api ke arah kepala dari jarak dekat. Hal ini kemudian diperparah dengan wisata perburuan gaya Inggris, Shikari, yang dilakukan oleh orang-orang Belanda yang datang ke Bali dari Jawa; dimana sejumlah pemburu mahir berburu harimau sebagai olahraga dengan panduan seorang “mir shirkar”, atau master pemburu yang seringkali direkrut dari suku atau orang pedalaman lokal yang mengenal daerahnya dengan baik.
Jika harimau Jawa secara resmi sudah dinyatakan punah, tidak demikian ceritanya jika kita bertanya kepada mereka yang hidup di sekitar hutan-hutan pula Jawa. Dengan mudah kita akan mendapatkan kesaksian tentang macan gembong ini. Tentang hal ini saya tidak akan menulisnya lebih lanjut karena jika dilacak di google akan mudah kita dapatkan artikel-artikel yang mempertanyakan kembali klaim kepunahan harimau jawa.
Harimau Bali terakhir yang berhasil diambil gambar fotonya adalah seekor harimau yang ditembak mati pada 1925 di Sumbar Kima, Bali Barat. Pada 27 September 1937, ia dinyatakan punah. Namun pada awal Agustus 2010, Bali dikejutkan oleh berita tentang serangan seekor harimau terhadap anjing dan ternak kambing milik warga di dekat hutan Siong, Slemadeg Tabanan- Bali Tenggara (Bali Post, Radar Bali,SCTV:Agustus 2010).
Menurut seorang warga dusun Dauh Siong, I Made Pariawan Mardika (37), ia telah melihat dengan mata kepala sendiri selama satu menit seekor harimau yang digambarkannya setinggi kira-kira satu meter, berwarna merah berpadu kuning berbelang hitam dengan berat badan sekitar 70 kilogram . Karena ketakutan ia pulang ke rumah, dua ekor anjing miliknya mengejar harimau yang berlalu menuju Hutan Lindung Blok Tukad Balian Palasari. Mereka tak pernah kembali dan kemudian ditemukan tewas dengan luka gigitan di leher.
Disusul dengan kesaksian Made Sumadi dari Banjar Nagasari, pada 5 Agustus, kaget ketika pulang ke rumah setelah memetik kakao, tidak mendapati kambing betinanya yang sudah bunting. Pencarian yang dilakukannya beserta sejumlah warga hingga alam ke hutan lindung tidak membuahkan hasil. Ia takut karena ia mendengar bahwa dua ekor anjing diterkam macan loreng di dusun tetangga Dauh Siong. Setelah melakukan pencarian kambingnya ditemukan tewas dengan luka gigit di leher, dan pantat berluabng-lubang di sebuah jurang 100 meter dari rumahnya.
Hingga kini, setelah beberapa bulan berlalu tidak ada berita lanjutan dari berita harimau hutan Siong ini.
Bila keterangan dari Pak Made benar, sepintas penggambarannya tentang harimau mirip dengan ciri-ciri harimau Bali di paragraf atas, ia menggambarkannya tidak terlalu besar dan berbulu merah bercampur kuning. Adakah maksudnya oranye gelap?
Karena penasaran, saya yang kebetulan karena profesi sebagai pemandu wisata, sering berada di daerah Selemadeg,dan seputaran taman nasional Bali Barat, kerap kalau suasananya tepat, bertanya kepada penduduk lokal tentang kemungkinan eksistensi harimau Bali. Ada yang menjawabnya dengan cerita bahwa seorang teman dari temannya pernah melihat “samong” dekat hutan Siong ketika memancing di sungai, ada yang mengaku pernah melihat jejak kakinya.
Cerita yang paling heboh adalah dari seorang juru mudi yang biasa membawa tamu snorkeling di pulau Menjangan, yang termasuk wilayah cagar alam. Ia mengatakan pernah makan di hutan masih dekat pantai pulau Menjangan. Ketika asyik makan, didengarnya suara auman harimau. Ia lari tunggang langgang ketakutan ke pantai. Ketika ia berpikir bahwa itu hanya halusinasi karena harimau sudah dinyatakan punah, ia beristirahat di pantai. Namun sekali lagi di dengarnya suara harimau. Karena kecapekan, lututnya tak bisa diajak lari, dan ia terdiam pasrah. Tapi setelah diperhatikannya suara geraman yang terus berulang ini berasal dari seekor burung jalak. Ia kemudian bertanya-tanya jika burung itu bisa menirukan suara harimau, dari siapa ia belajar menirukannya.
Ah, sekali lagi itu semua adalah cerita-cerita. Sampai sekarang tidak ada foto terbaru dari harimau Bali yang bisa jadi bukti otentik. Yang jelas , vegetasi Bali saya lihat semakin lama semakin tipis. Dan cerita-cerita tentang harimau Bali itu entah benar-atau tidak tetap menjadi kekayaan Bali. Kekayaan legenda, kekayaan klaim. Semoga saja memang masih ada harimau Bali di rimba sana…
[kompasiana.com) 27 November 2010 | 05:31
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.