Dilema Hukuman Mati
Hukuman mati (the death penalty), sekalipun sudah memicu perdebatan sejak ratusan tahun lalu, namun tetap menjadi sorotan publik bahkan memicu kerusuhan yang berujung pada tindakan perusakan terhadap sejumlah kantor pemerintah. Setidak-tidaknya, reaksi itulah yang terjadi pada hari-hari pasca eksekusi terhadap Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu, terpidana mati dalam kasus kerusuhan Poso, yang “diakhiri’ nyawanya oleh regu tembak dua tahun lalu atau tepatnya pada tanggal 22 September 2006. Tibo Cs., bukanlah terpidana terakhir yang harus menghadapi hukuman mati, tetapi masih ada ratusan terpidana mati lain yang kini sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati.
Angka ini jelas bukan merupakan jumlah yang kecil, bila mengingat Indonesia –menurut catatan Amnesty International- tergolong sebagai salah satu negara yang paling minim menerapkan hukuman mati sampai tahun 2001, dikaitkan pula dengan jumlah negara penganut hukuman mati (retentionist countries) yang terus-menerus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Bisa jadi, kini Indonesia menjadi salah satu negara yang paling banyak menjatuhkan hukuman mati dibanding negara lain di dunia.
Secara yuridis, pelaksanaan hukuman mati terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, didasarkan pada putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewssdje). Putusan mana didasarkan pada ketentuan hukum positif yang berlaku, seperti KUHP, UU No 7/Drt/1955, UU No 22 Tahun 1997, UU No 5 Tahun 1997, UU No 31 Tahun 1999, UU No 26 Tahun 2000, dan lain sebagainya. Dari kenyataan ini, terlihat bahwa penerapan hukuman mati di Indonesia semakin menunjukkan kecederungan yang meningkat dilihat dari peningkatan jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur hukuman mati. Persoalannya, apakah penerapan hukuman mati seperti yang diberlakukan terhadap Tibo Cs. dan ratusan terpidana mati lain, memang masih layak dipertahankan? Sejalankah praktek penghukuman seperti itu dilihat dari perspektif hak asasi manusia dan tujuan penghukuman itu sendiri?.
Beberapa filsafat memandang tujuan penghukuman atau pidana sebagai bentuk pembalasan dan pemberi rasa takut atau efek pencegah (deterrent effect) bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan serupa di kemudian hari. Di sisi lain, ada pula yang memandang hukuman sebagai cara untuk memperbaiki dan memberi efek jera bagi si pelaku sehingga tidak mau lagi melakukan perbuatan serupa di kemudian hari. Menurut pandangan pertama, tujuan hukuman baru akan terwujud apabila pelaku kejahatan diganjar dengan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya dan semakin berat hukuman akan semakin membuat orang takut melakukan kejahatan. Masalahnya, apakah filosofi deterrent effect itu berjalan efektif? Melihat praktek pelaksanaan pidana mati yang ada di Inggris, dimana pada saat orang ramai berkerumun untuk menyaksikan penggantungan sang pencopet, para pencopet lain justeru menggunakan kesempatan itu untuk menggerayangi saku para penonton (J.E. Sahetapy: 2006), melahirkan keraguan apakah penerapan hukuman mati akan membuat orang takut atau justeru semakin berani untuk melakukan kejahatan. Bila penerapan hukuman mati itu dimaksudkan sebagai ketentuan hukum tertulis yang berfungsi untuk menakut-nakuti (sock therapy law), justeru semakin banyak orang yang tidak takut melakukan korupsi, membunuh secara berencana, melakukan kejahatan terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya.
Hukuman mati, mungkin akan membuat kejahatan si pelaku terbalaskan setidaknya bagi keluarga korban dan akan membuat orang lain takut melakukan kejahatan karena akan diancam dengan hukuman serupa. Namun hal itu jelas tidak akan dapat memperbaiki diri si pelaku dan membuat dirinya jera untuk kemudian hidup menjadi orang baik-baik, karena kesempatan itu sudah tidak ada lagi disebabkan dirinya sudah dimatikan sebelum sempat memperbaiki diri. Sebaliknya, tanpa dihukum mati pun, seorang pelaku kejahatan dapat merasakan pembalasan atas tindakannya dengan bentuk hukuman lain, misalnya dihukum seumur hidup dengan atau tanpa pencabutan beberapa hak tertentu atau penjara di tempat yang jauh dan terpencil. Begitu juga bagi masyarakat, penjatuhan hukuman penjara untuk waktu tertentu di suatu tempat tertentu atau perampasan beberapa barang tertentu, dapat memberi rasa takut bagi seseorang untuk melakukan kejahatan.
Dari perspektif hak asasi manusia, penerapan hukuman mati dapat digolongkan sebagai bentuk hukuman yang kejam dan tidak manusiawi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu”. Jaminan ini dipertegas dengan Pasal 5 DUHAM dan Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights-ICCPR) yang berbunyi, “Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina“ dan dikuatkan dengan Protokol Opsional Kedua atas Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Sipil dan Politik tahun 1989 tentang Penghapusan Hukuman Mati. Sekalipun instrumen hukum internasional yang mengatur persoalan hak asasi manusia tersebut tidak dapat memaksa suatu negara untuk mematuhinya kecuali negara yang bersangkutan telah menandatangani rumusan hukum yang tertuang dalam perjanjian internasional yang dibuat untuk itu, namun sebagai bagian dari masyarakat bangsa-bangsa yang berkomitmen memajukan hak asasi manusia, Indonesia wajib menghormati dan melindungi hak asasi manusia setiap warga negaranya tanpa pandang bulu.
Sayangnya, meskipun ICCPR sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 yang berarti kewajiban untuk melaksanakan ketentuan didalam kovenan tersebut telah secara otomatis melekat pada Pemerintah Indonesia, belum terlihat adanya political will dari pemerintah untuk menghapuskan pidana mati di Indonesia. Agaknya, problematika penerapan hukuman mati di Indonesia tampaknya sudah mendesak untuk dicarikan jalan keluarnya. Lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan yang memungkinkan diterapkannya pidana mati di satu sisi dan adanya jaminan dalam Konstitusi RI UUD 1945 (Amandemen Kedua) Pasal 28I Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya” yang diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menegaskan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, …. dst, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun” (Pasal 4), jelas menunjukkan kesimpangsiuran peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Sulit kiranya menerima, peraturan perundang-undangan yang seharusnya dibuat untuk melindungi HAM setiap orang justeru menjadi alat legitimasi untuk melakukan pelanggaran HAM itu sendiri. Agaknya, fakta itulah yang saat ini sedang terjadi di negeri ini.
Ditulis Oleh : Sudi Prayitno, S.H., LL.M
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang
Sumber: Belajarhukum-ekoptan.blogspot.com
Kategori: Hukum, Masalah Pidana
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.