Mahkamah Agung (MA) telah menvonis bersalah Erwin Arnada, Pemimpin Redaksi Majalah Playboy, yang dinilai terbukti menyiarkan atau menyebarkan gambar yang isinya melanggar kesusilaan/kesopanan. Karenanya, Erwin dipidana selama dua tahun penjara sesuai tuntutan jaksa penuntut umum.
“Karena alasan kasasi Jaksa beralasan hukum dikabulkan, maka kami sepakat menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun kepada Erwin karena terbukti melanggar Pasal 282 ayat (3) KUHP sebagaimana dakwaan primer,” kata Mansur Kartayasa, ketua majelis kasasi perkara majalah Playboy, di ruang kerjanya, Jumat (27/8).
Hal ini sekaligus meralat pemberitaan sebelumnya yang berjudul “MA Tolak Kasasi Jaksa Majalah Playboy”. Pemberitaan itu didasari kutipan putusan yang ditunjukkan salah satu sumber di Humas MA yang amarnya tertulis, “Tolak Jaksa Penuntut Umum.” Sehingga disimpulkan kasasi yang diajukan oleh Jaksa ditolak.
Mansur mengaku bahwa dirinya sebagai hakim ketua dalam kasus ini dengan anggota Abbas Said dan Imam Harjadi. “Kasus ini diputus pada tanggal 29 Juli 2009 dengan nomor 972 K/Pid/2008 yang amarnya permohonan kasasi Jaksa dikabulkan dan berkas kasus ini sudah dikirim ke PN Jakarta Selatan,” kata Mansur.
Pertimbangan majelis hakim kasasi, kata Mansur, mengutip alasan permohonan kasasi Jaksa yang menyatakan bahwa delik dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tak mengatur delik penyebaran tulisan atau gambar yang melanggar kesusilaan atau kesopanan untuk dipertunjukkan di muka umum. Makanya, Jaksa hanya mendakwa Pasal 282 Ayat (3) KUHP, subsider Pasal 282 Ayat (2) KUHP karena kasus ini bukan bersifat pemberitaan atau opini.
Terlebih, kata Mansur, dalam penjelasan UU Pers sendiri menegaskan bahwa untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, UU ini tak mengatur hal-hal yang sudah diatur dalam UU lainnya. Sementara perbuatan terdakwa Erwin berkaitan dengan menyebarkan gambar/tulisan yang merusak kesusilaan yang memang itu diatur Pasal 282 KUHP.
“Atas dasar itu, majelis hakim kasasi yang terdiri dari pembaca satu sampai tiga, sepakat atas alasan kasasi Jaksa dapat dibenarkan karena pengadilan judex factie (PN Jaksel dan PT DKI Jakarta) telah keliru atau salah dalam pertimbangannya. Sebab, memang UU Pers sama sekali tak mengatur delik kesusilaan,” tegasnya.
Karenanya, majelis kasasi berkesimpulan pasal dakwaan (282 KUHP) yang dituduhkan kepada Erwin sudah tepat. Hal ini diperkuat dengan keterangan ahli Rudy Satrio Muntakardjo yang berpendapat foto pose di Majalah Playboy termasuk kategori pornografi yang melanggar kesusilaan dalam masyarakat. Selain itu, Amirsyah Tambunan dari MUI berpendapat Majalah Playboy edisi April 2006 bersifat pornografi yang melanggar norma agama.
Dikabarkan pula hari ini, Jumat (27/8), Front Pembela Islam (FPI) pimpinan Rizieq Shihab, pihak yang sejak awal mengawal kasus ini, menggelar unjuk rasa di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Mereka mendesak dan menuntut Kejati DKI Jakarta segera mengeksekusi putusan kasus Erwin ini.
Terpisah, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia meminta FPI untuk menghentikan rencana ‘pemburuan’ Erwin. Sebab, hal itu adalah bentuk ancaman dan teror terhadap pers.
Lebih jauh AJI menyesalkan penghukuman terhadap Erwin yang menggunakan KUHP. AJI tetap berpedoman pada pendapat Dewan Pers pada 2006 silam bahwa Playboy Indonesia digolongkan sebagai produk pers. “Maka seharusnya hakim menggunakan UU Pers secara utama,” demikian tertulis dalam siaran pers AJI yang diterima hukumonline, Jumat (27/8).
Untuk diketahui, awalnya Erwin dituntut selama dua tahun penjara oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan karena dianggap terbukti melanggar pidana kesusilaan dengan menyiarkan gambar yang melanggar kesopanan sesuai Pasal 282 ayat (3) KUHP akhir Maret 2007 silam. Tegasnya, Erwin dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terbitan perdana Majalah Playboy April 2006 yang memuat foto sejumlah model yang nampang di majalah itu diantaranya Andhara Early.
Lalu pada 5 April 2007, majelis hakim PN Jaksel pimpinan Efran Basuning memutuskan dakwaan Jaksa tak dapat menerima karena dakwaan seharusnya dikaitkan/memasukkan UU Pers sebagai UU yang lebih khusus. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan itu pada 22 Oktober 2007 hingga akhirnya Jaksa mengajukan kasasi ke MA. Alasannya, UU Pers tak mengatur ketentuan delik penyebaran gambar.
Sumber: Hukumonline.com
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.