PestaBaca.info - Jakarta, Citra SBY di media begitu positif ketika muncul dalam perebutan kursi presiden pada 2004. Namanya meroket dan dia pun kembali terpilih sebagai presiden di Pilpres 2009. Namun SBY dinilai tak siap menerima kritik kala pemberitaan media dianggap menohok partainya.
"SBY dengan media itu benci tapi rindu. Saat pemilu media mencitrakan SBY sebagai calon presiden yang layak memimpin, tapi setelah pemerintah berjalan, SBY tidak siap ketika pers yang dulu menjadi teman, terus sekarang menjadi pengkritik," kata anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo.
Hal itu dikatakan Agus dalam 'Dialektika Demokrasi: Demokrat Pecah, Pers Disalahkan' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (14/7/2011).
Menurut Agus, sikap pers yang pernah melambungkan seseorang namun menjadi pengktitiknya di kemudian hari adalah bukti profesionalisme. "Pers harus siap mencitrakan sebagai pemimpin yang layak, tapi harus siap juga menjalankan fungsi kritiknya," ujar Agus.
Anggota Komisi I DPR, Teguh Juwarno menilai tidak adil jika seseorang hanya menggunakan media untuk melambungkan namanya saat pemilu, namun kemudian menuding pers sebagai biang carut marut.
Teguh meyakini, pemberitaan pers tidak akan ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Dia mengingatkan, masyarakat tidak bodoh dalam mencerna informasi.
"Kalau terlalu bereaksi dengan pemberitaan media itu sama saja menyalahkan publik, bahwa publik dianggap tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak," kata mantan wartawan ini.
Teguh juga mengutip pernyataan mendiang mantan Presiden AS Thomas Jefferson terkait pers untuk direnungkan semua pihak.
"Kalau harus memilih antara pemerintahan tanpa pers atau pers tanpa pemerintahan, saya pilih yang kedua," kutip Teguh.(lrn/vit)
[detiknews.com]
"SBY dengan media itu benci tapi rindu. Saat pemilu media mencitrakan SBY sebagai calon presiden yang layak memimpin, tapi setelah pemerintah berjalan, SBY tidak siap ketika pers yang dulu menjadi teman, terus sekarang menjadi pengkritik," kata anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo.
Hal itu dikatakan Agus dalam 'Dialektika Demokrasi: Demokrat Pecah, Pers Disalahkan' di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (14/7/2011).
Menurut Agus, sikap pers yang pernah melambungkan seseorang namun menjadi pengktitiknya di kemudian hari adalah bukti profesionalisme. "Pers harus siap mencitrakan sebagai pemimpin yang layak, tapi harus siap juga menjalankan fungsi kritiknya," ujar Agus.
Anggota Komisi I DPR, Teguh Juwarno menilai tidak adil jika seseorang hanya menggunakan media untuk melambungkan namanya saat pemilu, namun kemudian menuding pers sebagai biang carut marut.
Teguh meyakini, pemberitaan pers tidak akan ditelan mentah-mentah oleh masyarakat. Dia mengingatkan, masyarakat tidak bodoh dalam mencerna informasi.
"Kalau terlalu bereaksi dengan pemberitaan media itu sama saja menyalahkan publik, bahwa publik dianggap tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang tidak," kata mantan wartawan ini.
Teguh juga mengutip pernyataan mendiang mantan Presiden AS Thomas Jefferson terkait pers untuk direnungkan semua pihak.
"Kalau harus memilih antara pemerintahan tanpa pers atau pers tanpa pemerintahan, saya pilih yang kedua," kutip Teguh.(lrn/vit)
[detiknews.com]
0 Comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.