Dalam suatu gugatan di Pengadilan, apabila tergugat setelah dipanggil sesuai ketentuan tidak hadir sampai pada putusan, maka putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim adalah putusan verstek atau putusan tanpa kehadiran tergugat. Nah, apabila tergugat yang telah dijatuhi putusan verstek keberatan atas putusan tersebut, maka upaya hukum yang bisa dilakukan adalah dengan mengajukan perlawanan (verzet).
Jadi tidak seperti putusan biasa yang dapat dilakukan upaya banding. Karena itu permohonan banding terhadap putusan verstek menjadi cacat formil sehingga tidak dapat diterima. Dalam putusan MA no. 1936 K/Pdt/1984, antara lain ditegaskan bahwa permohonan banding yang diajukan terhadap putusan verstek tidak dapat diterima karena upaya hukum terhadap verstek adalah verzet.
Perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek mengandung arti bahwa tergugat berusaha melawan putusan verstek / tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek. Tujuannya, agar terhadap putusan itu di lakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan proses pemeriksaan kontradiktor dengan permohonan agar putusan verstek di batalkan, sekaligus supaya gugatan penggugat ditolak.
Dalam proses pemeriksaan perlawanan atau verzet, terdapat beberapa landasan hukum yang harus dipenuhi, antara lain : Perlawanan (verzet) harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan verstek; Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya; Disampaikan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek dalam dengan batas tenggang waktu yang ditentukan pasal 129 ayat (2) HIR; Ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain daripada penggugat semula.
Perlawanan terhadap verstek, bukan merupakan perkara baru. Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Dengan demikian, perlawanan merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan semula, dengan alasan bahwa putusan verstek yang dijatuhkan keliru dan tidak benar. Berdasarkan putusan MA No. 307K/Sip/1975 disebutkan bahwa verzet terhadap verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Sedangkan dalam putusan MA 494K/Pdt/1983 ditegaskan bahwa dalam proses verzet atau verstek, pelawannya berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat.
Sedangkan pemeriksaan perlawanan (verzet) adalah berdasarkan gugatan semula. Hal ini mengacu pada putusan MA No. 938K/Pdt/1986. Dalam putusan tersebut terdapat pertimbangan antara lain bahwa subtansi verzet terhadap putusan verstek harus ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan/penggugat asal. Dengan demikian verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan dianggap tidak relevan. Oleh karena itu, putusan verzet yang hanya mempertimbangkan masalah sah atau tidak ketidakhadiran tergugat atau memenuhi panggilan sidang adalah keliru.
Mengenai putusan perlawanan atau putusan verzet, apabila dalam peyelesaian satu perkara diterapkan secara verstek yang kemudian diikuti acara verzet terhadap putusan verstek tersebut, maka PN akan menerbitkan dua bentuk keputusan: Pertama,putusan verstek sesuai dengan putusan verstek yang di gariskan pada peraturan hukum acara perdata, pasal 125(1) HIR; Kedua, putusan verzet berdasarkan acara verzet yang diatur pasal 129 (1) HIR. Kedua putusan tersebut saling berkaitan karena sama-sama bertitik tolak dari kasus yang sama.
Putusan perlawanan(verzet) antara lain: Verzet tidak dapat diterima, Menolak verzet atau perlawanan, Mengabulkan perlawanan (verzet).
[zamronicenter.com]
Subscribe to:
Posting Komentar (Atom)
0 Comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.