Kompas/Wisnu Widiantoro |
Bagaimana ”evolusi” itu bisa terjadi? Hermanto (69), pedagang di Tanah Abang, masih mengingatnya.
Dia berdagang tekstil di Tanah Abang sejak tahun 1968 hingga 2006. Pada tahun 1960, kata Hermanto, pasar seperti dikepung bau obat tekstil. Itulah bau khas Pasar Tanah Abang, pasar tekstil sejak ditetapkan Pemerintah Hindia Belanda, 30 Agustus 1735.
”Baru pada tahun 1980, pedagang mulai jualan pakaian jadi. Lalu, tumbuh pesat pada tahun 1990. Tahun 2000 malah jadi mayoritas jualan baju ketimbang tekstil,” kata Hermanto.
Menurut dia, konsumen akhirnya membeli pakaian jadi yang kini lebih murah ketimbang membeli kain dahulu, lalu menjahitnya. ”Tetapi, dulu image-nya baju Tanah Abang itu baju kodian, kualitas murahan. Sekarang itu sudah jauh beda. Lihat saja di butik-butik di lantai enam dan tujuh di Blok A. Desainer beken aja buka kios di sini,” katanya.
Memang, di tengah kesemrawutannya, identitas Pasar Tanah Abang tetap kuat sebagai pusat grosir dan ritel komoditas sandang untuk penjuru Nusantara. Perputaran uang per hari di pasar ini, terlebih tiap menjelang Lebaran, memang fantastis.
Hasan Basri, Dewan Pembina Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, mengatakan, di Tanah Abang saat ini ada sekitar 20.000 kios, termasuk yang di luar pengelolaan PD Pasar Jaya. Jika setiap kios omzetnya rata-rata Rp 5 juta per hari, omzet seluruh kios saja sekitar Rp 100 miliar per sehari.
”Yang kita prihatin sekarang, serbuan produk China keterlaluan. Di Pasar Pagi Mangga Dua, 90 persen barang dari China. Di Tanah Abang 50-60 persen barang dari China. Padahal, Tanah Abang adalah salah satu dari empat pasar sentral di Indonesia, selain pasar Jatinegara, Pasar Cipulir, dan Pasar Pagi Mangga Dua,” kata Hasan.
Kendati pakaian impor asal China terus menggempur, geliat industri pakaian dalam negeri yang bermuara di Tanah Abang sebenarnya masih menjanjikan. Andalannya adalah busana muslim. Tak cuma untuk perempuan, tetapi juga laki-laki. Para ustaz dan artis sinetron religi pun turut memopulerkan busana Muslim asal Tenabang ini. Pantas, Tanah Abang kini percaya diri menjadi trendsetter sekaligus penyerap tren fashion di Tanah Air. Dari pasar ini, busana mengalir ke ITC, pasar-pasar di daerah, hingga mancanegara.
Potret evolusi di Tenabang bisa disimak dari kisah produsen busana muslim Al-Mia. Merek ini orisinal dari Pasar Tanah Abang. Tahun 1998, kiosnya masih bernama Mia Tekstil, yang tentunya hanya berjualan tekstil. Baru pada tahun 2000 tekstil jualan itu disulap menjadi baju koko. Sebab, berjualan tekstil saja, marjin keuntungan kian tipis. Baju koko Al-Mia lalu dilempar ke pasar mulai dari harga Rp 120.000, jauh di atas harga pasaran baju koko di Tanah Abang saat itu.
Herianus, salah satu pemilik Al-Mia, menuturkan, ketika itu, dia dan kakaknya, Herman, berpikir tak ada salahnya membuat busana untuk pasar kelas menengah ke atas. Bagaimana caranya menembus kelas tersebut?
Herianus dan Herman cukup cerdik. Mereka mendobrak pakem baju koko yang bersahaja. Desain koko digarap menjadi lebih ngepop. Mereka menyebutnya koko kontemporer, yang ditandai dengan warna-warna berani, potongan leher bervariasi, serta dimodifikasi dengan corak batik dan dihiasi bordiran apik.
Trik pemasaran berikutnya, mereka aktif melobi para pekerja dunia hiburan agar bersedia memakai busana Al-Mia sebagai kostumnya. Walhasil, grup vokal/band ternama, seperti Bimbo, Wali Band, dan Ungu, kerap memakai busana Al-Mia. Begitu pula para pemain di sinetron Ketika Cinta Bertasbih dan sederet ustaz kondang. Kini, Al-Mia bahkan mendapuk Ustaz Sholeh Mahmoed sebagai model busana mereka. Sang ustaz ini juga wira-wiri tampil di program dakwah di televisi, seperti Assalamualaikum Ustadz.
”Laki-laki sekarang ingin lebih gaya walaupun pakai koko. Ustaz-ustaz pun kini lebih sadar mode,” ujar Herianus terkekeh.
Ia memperkirakan, kostum Al-Mia dipakai di 35 acara televisi saat ini. Sistem barter diterapkan. Koleksi baju diberikan gratis dan nama Al-Mia tampil di layar kaca: costume by Al-Mia. Dengan strategi itu, permintaan pasar terus membubung, terutama dari daerah, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Desainer Itang Yunaz pun tak ketinggalan melirik Tanah Abang. Selain ingin desainnya bisa dinikmati semua kalangan, perputaran uang yang sangat besar tak dimungkiri menjadi alasan Itang membuka kios di Tanah Abang. Apalagi, rekan bisnisnya, Adrizal, telah memiliki pengalaman yang cukup lama berbisnis di tempat tersebut. Kini, di delapan gerainya di Tanah Abang, Itang menjual busana Muslim siap pakai dari label sekunder dengan nama Preview.
”Konsumen yang belanja di Tanah Abang juga bukan hanya konsumen lokal. Ada dari negara lain, seperti Malaysia, Brunei, dan Afrika. Waktu naik haji, saya bahkan melihat banyak orang Arab memakai Preview karena ada tanda di bajunya. Padahal, baju itu hanya bisa dibeli di Tanah Abang,” kata Itang.
Baju koko yang dipakai Ustaz Jeffry al Buchori, yang kemudian terkenal dengan ”baju koko UJ”, menjadi awal dikenalnya produk Preview di masyarakat. ”Kami harus memperkuat sisi promosi. Misalnya, dengan menjadikan artis sebagai ikon atau membuat katalog,” kata Adrizal.
Tak heran, baju koko masa kini jauh dari stereotip busana ala santri pondok pesantren. Bahkan, potongan di bagian leher pun mulai centil. Coba lirik saja model koko yang berpotongan leher terbelah dan dibiarkan tersibak, bagian atas dada pemakainya tampak mengintip.
Begitulah. Di Tenabang, kreativitas itu menyeruak, berlenggak-lenggok....
Sumber: Kompas.com
0 Comments:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.